Jumat, 26 Juli 2013

Franchise/ Waralaba Jamu Gendong, Mungkinkah?


Jamu tergolong dalam obat tradisional, yaitu bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-menurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Permenkes RI No.246/ Menkes/ Per/ V/ 1990). Di Indonesia jamu tetap populer di tengah-tengah teknologi pengobatan yang semakin modern. Hal ini ditandai dengan maraknya komunitas pengguna jamu yang bersatu-padu, membagi informasi, serta bertukar pikiran dalam suatu milis “Go Djamoe Indonesia”. Berita yang sangat menyenangkan adalah ketika Kementerian Kebudayaan berniat mengajukan jamu sebagai salah satu Intangible Cultural Heritage dari Indonesia. Nah, salah satu yang masih eksis tentang jamu hingga sekarang adalah penjualan jamu yang dilakukan orang per orang dengan cara menggendong atau lebih dikenal dengan jamu gendong.

Jamu Gendong (Sumber: thejakartapost.com)
Popularitas jamu gendong sudah tidak diragukan lagi. Walau di beberapa wilayah sudah susah dicari atau ditemukan. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia pernah mendengar, meminum, dan merasakan khasiatnya. Walau terkadang, jika ditanyakan apa jenis jamu yang mereka konsumsi kebanyakan mungkin tak akan tahu namanya. Yang jelas, tahu khasiatnya saja. Jenis jamu yang bermacam-macam yang dibawa dalam satu bakul jamu ternyata tidak diketahui semua orang. Saya sendiri punya satu jenis jamu favorit. Saya lupa namanya, yang saya tahu setelah ibu saya meminum jamu beras kencur yang pahit biasanya saya kebagian meminum yang manisnya.

Ternyata bakul jamu gendong itu cukup berat juga. Satu bakul penuh dengan botol-botol kaca tersebut bisa berbobot 20 – 25 kilogram. Belum lagi harus menenteng peralatan lain. Untuk lebih jelasnya mari sama-sama kita perhatikan apa saja yang dibawa oleh seorang penjual jamu gendong.

Pertama, tentu saja jamu dalam bentuk cair yang ada dalam berbagai botol. Biasanya botol kaca supaya tidak mempengaruhi rasa, bau, atau kualitas jamu. Jamu-jamu ini antara lain: kunyit asam, beras kencur, kunyit sirih, pahitan, temu lawak, dan jahe. Hampir semua penjual jamu menyediakan seluruh jenis jamu ini meskipun jumlah yang dibawa berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan konsumen. Masing-masing jenis jamu disajikan untuk diminum tunggal atau dicampur satu jenis jamu dengan jenis yang lain.

Kedua, termos air panas. Termos ini harus mampu menyimpan panas dalam waktu lama. Soalnya waktu berkeliling seorang penjaja jamu gendong atau “bakuler” (ini istilah yang tiba-tiba muncul di pikiran saya, sebelumnya saya berpikir menggunakan istilah “gendonger” tapi kedengarannya aneh dan kurang keren) biasanya cukup lama walau banyak juga bakuler yang rutin menjajakan di beberapa kompleks perumahan saja. Beberapa di antara responden, selain menyediakan jamu gendong juga menyediakan jamu serbuk atau pil hasil produksi industri jamu. Jamu tersebut diminum dengan cara diseduh air panas, kadang-kadang dicampur jeruk nipis, madu, kuning telor, dan selanjutnya minum jamu sinom atau kunir asam sebagai penyegar rasa. 

Ketiga, ramuan-ramuan tambahan. Ramuan tambahan ini antara lain: telur ayam kampung, jeruk nipis, madu untuk mengurangi rasa pahit, ginseng, dan dulu ada satu bahan yang namanya Inggu. Katanya, Inggu biasa digunakan sebagai campuran untuk sakit batuk-batuk.

Keempat, gelas kaca atau gelas belimbing serta perkakas seperlunya. Karena bakuler biasanya berjualan di jalan, sering pembelinya adalah orang-orang di jalan yang mungkin tidak membawa gelas kemana-mana. Beda dengan pembeli rumahan yang biasanya menggunakan gelas sendiri untuk meminum jamu yang dibelinya.

Kelima atau terakhir adalah perlengkapan pamungkas yaitu ember plastik berisi air dan kain serbet. Gunanya? Ya, untuk mencuci gelas tadi yang habis dipakai oleh pembeli untuk dipakai lagi oleh pembeli lainnya. Serbet digunakan untuk mengeringkan setelah mencuci perkakas seperti gelas, sendok, dan lain-lain.

Oh iya, supaya kita mendapatkan juga informasi tentang beberapa khasiat jamu yang masuk dalam gendongan, mari kita simak bersama:
  • Jamu Beras Kencur (kaempferia galangal rice atau sand ginger rice): membantu mengurangi pegal linu dan menambah nafsu makan.
  • Jamu Cabe Puyang (cabe dan akar/ rhizome lempuyang): mengurangi demam dan pegal-pegal pada badan khususnya bagian pinggang, serta mengurangi kesemutan.
  • Jamu Kudu Laos:  menurunkan tekanan darah tinggi, memperbaiki sirkulasi darah, menghangatkan tubuh, dan menambah nafsu makan.
  • Jamu Kunci Suruh (kunci, sirih, gula, asam kawak): banyak dikenal dengan sebutan “sari rapat” atau “galian rapat” berguna untuk mengobati kandidiasis (jamur pada kelamin wanita), mengencangkan  vagina, menghilangkan bau badan, mengembalikan bentuk rahim dan perut, dan sering juga dikatakan berkhasiat menguatkan gigi.
  • Jamu Kunir Asam (kunir, asam): berkhasiat untuk mengobati sariawan, panas dalam, melancarkan menstruasi,  hingga perawatan waktu hamil muda.
  • Jamu Pahitan (sambiloto, kedawung, brotowali, dan campuran lain): biasanya digunakan untuk gatal-gatal, diabetes, kurang nafsu makan, menurunkan kolesterol, mengurangi bau badan, hingga mengobati jerawat.
  • Jamu Sinom hampir sama dengan jamu kunir asam: digunakan sebagai minuman segar, mengobati sariawan, dan mendinginkan perut.
  • Jamu Uyup-uyup/ Gepyokan (beluntas, temu lawak, empon-empon, katu, temu ireng, dan bahan lain): digunakan untuk meningkatkan produksi ASI pada ibu menyusui. Juga untuk mendinginkan tubuh terutama bagian perut.
Memperhatikan pesan Jaya Suprana, seorang pengusaha jamu sekaligus pencinta kebudayaan Indonesia, yang perlu diperhatikan oleh setiap penjual jamu adalah mutu dalam hal penyajian, takaran, dan hieginisitas atau kebersihannya sehingga jamu tetap dapat dinikmati konsumen dengan mutu yang tinggi. Artinya, ada standar di situ. Standar takaran, standar campuran,standar penyajian, dan standar kebersihan. Berbicara standar, langsung saya terpikir satu hal. Mungkinkah industri jamu gendong ini dibuatkan waralaba atau franchisenya? Coba simak kriteria sistim franchise di bawah ini:

Kriteria sistem franchise:
1. Standard
2. Uniqueness
3. Transparant/ Tranferability
4. Proven

Kalau melihat ke-empat kriteria tersebut, maka jamu gendong mempunyai ke-empatnya. Ada standar untuk membuat jenis-jenis jamu. Ada keunikan dari masing-masing jenis jamu. Dibuat di depan konsumen sehingga menjamin transparansi. Dan terakhir, khasiatnya terbukti benar. Definisi waralaba atau franchise sendiri adalah suatu strategi pemasaran yang bertujuan untuk mengembangkan jaringan usaha dan suatu cara untuk mengemas suatu produk atau suatu usaha dengan tujuan untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan konsumen yang lebih luas (Peraturan Menteri No. 12 tahun 2006 tentang Waralaba). Dengan jamu gendong dikelola sebagai waralaba maka akan makin banyak konsumen yang bisa menikmati khasiat jamu yang ada dalam jamu gendong.

Bagaimana caranya?

  1. Membuat standarisasi atas pelayanan dan barang yang ditawarkan yang dapat diajarkan dan diaplikasikan. Artinya setiap pewaralaba yang ingin terjun ke usaha jamu gendong harus segera membuat standar. Misalnya untuk menyajikan jamu kunir asam misalnya, berapa gram kunir yang dibutuhkan untuk sekian liter air, berapa banyak asam yang ditambahkan, berapa banyak campuran gulanya dan lain-lain. Standar ini kemudian didokumentasikan dan menjadi standar yang digunakan oleh semua bakuler.
  2. Masing-masing mengusahakan adanya ciri khas usaha. Karena usaha jamu gendong bisa berbeda jenis di suatu daerah dengan daerah lain maka ciri khas menjadi penting. Contoh: ketika mendengar nama “empot-empot” atau “Tongkat Madura” maka itu sudah identik dengan derah Madura. Tentunya banyak wilayah di Indonesia yang punya jamu yang menjadi ciri khas wilayahnya.
  3. Melakukan proses perhitungan keuntungan. Setelah terstandar dari sisi bahan dan penyajian serta menemukan keunikan produk maka perlu dilakukan perhitungan keuntungan. Misalnya, dari seluruh jenis jamu yang dijual dalam satu bakul, mana jamu yang lebih laku dan lebih menguntungkan? Mana yang peminatnya kurang? Berapa banyak keuntungannya? Jika keuntungan harian sudah bisa didapatkan maka prediksi keuntungan bulanan akan lebih mudah.
  4. Melakukan pendaftaran merk. Memang jamu gendong tidak bisa diklaim sebagai merk yang dimiliki oleh orang per orang tapi tidak ada salahnya jika seseorang yang ingin terjun ke industri jamu gendong membuat merk sendiri atau bekerja sama dengan perusahaan jamu. Contoh nyata yang sering kita lihat adalah bagaimana para produsen teh celup atau teh kering dalam kemasan ternyata terjun langsung membuat booth-booth untuk langsung menjual teh siap minum langsung ke konsumen. Belum lagi penambahan variasi rasa yang mereka tawarkan. Bukan tak mungkin bakulers suatu saat akan mengenakan seragam suatu perusahaan jamu misalnya yang diperlengkapi dengan “jamu gendong kit” yang terdiri dari: gelas berlogo, termos berlogo, dan botol-botol jamu berlogo sebuah perusahaan jamu. Selain “jamu gendong kit”, berat bakul juga bisa disiasati dengan banyak cara, misalnya dengan bakul beroda atau merubah image menjadi “jamu gendong campur dorong” dengan menggunakan gerobak.
  5. Memberikan dukungan yang berkesinambungan. Waralaba tak mungkin terjadi jika hanya satu bakuler yang terlibat. Perlu dukungan dari berbagai pihak. Bakuler yang ingin menyeriusi usaha waralaba ini sebaiknya mempunyai bapak angkat yang mendukung modal usahanya. Akses ke kredit untuk modal usaha juga dipermudah sehingga bakuler tak berhenti hanya sebagai penjaja jamu gendong sampai tua.
Dengan berjalannya sistim franchise/ waralaba untuk jamu gendong maka setiap bakuler akan memperoleh kesempatan untuk mandiri, memperoleh dukungan pemasaran, ada kesempatan menggunakan nama dan jaringan (misalnya Asosiasi Bakulers Indonesia disingkat Asbaksia) dan dari sisi hukum akan terlindungi jika di kemudian hari timbul tuntutan berkaitan dengan kualitas jamu yang diperdagangkan dengan adanya ikatan perjanjian dengan sejumlah pabrik jamu tersertifikasi. Tidak hanya itu, jamu gendong juga akan lestari dan bahkan menjadi budaya bersama dengan jamu itu sendiri.

Akhirnya, ini hanya sekedar ide. Tapi kalau dilaksanakan paling tidak akan memperkuat komunitas penjaja jamu gendong sehingga tak punah oleh waktu. Ada prestise tersendiri menjadi penjaja sekaligus pengusaha waralaba jamu gendong. Mungkin suatu saat bukan jamunya saja yang menjadi Intangible Cultural Heritage tapi juga jamu gendongnya sekalian!

Daftar Pustaka:
Detik Health

The basic of Jamu (Source: Wikipedia)



Jamu (formerly Djamu) is traditional medicine in Indonesia. It is predominantly herbal medicine made from natural materials, such as parts of plants such as roots, leaves and bark, and fruit. There is also material from the bodies of animals, such as bile of goat or alligator used. 

In many large cities jamu herbal medicine is sold on the street by hawkers carry a refreshing drink, usually bitter but sweetened with honey. Herbal medicine is also produced in factories by large companies such as Air Mancur, Nyonya Meneer or Djamu Djago, and sold at various drug stores in sachet packaging. Packaged dried jamu should be dissolved in hot water first before drinking. Nowadays herbal medicine is also sold in the form of tablets, caplets and capsules.

History
It is claimed to have originated in the Mataram Kingdom some 1300 years ago. Though heavily influenced by Ayurveda from India, Indonesia is a vast archipelago with numerous indigenous plants not found in India, and include plants similar to Australia beyond the Wallace Line. Jamu may vary from region to region, and often not written down, especially in remote areas of the country.
Jamu was (and is) practiced by indigenous physicians (dukuns). However, it is generally prepared and prescribed by women, who sell it on the streets. Generally, the different jamu prescriptions are not written down but handed down between the generations. Some early handbooks, however, have survived. A jamu handbook that was used in households throughout the Indies was published in 1911 by Mrs. Kloppenburg-Versteegh.

One of the first European physicians to study jamu was Jacobus Bontius (Jacob de Bondt), who was a physician in Batavia (today's Jakarta) in the early seventeenth century. His writings contain information about indigenous medicine.A comprehensive book on indigenous herbal medicine in the Indies was published by Rumphius, who worked on Ambon during the early eighteenth century. He published a book called Herbaria Amboinesis (The Ambonese Spice Book). During the nineteenth century, European physicians had a keen interest in jamu, as they often did not know how to treat the diseases they encountered in their patients in the Indies. The German physician Carl Waitz published on jamu in 1829. In the 1880s and 1890s, A.G. Vorderman published extensive accounts on jamu as well. Pharmacological research on herbal medicine was undertaken by M. Greshoff and W.G. Boorsma at the pharmacological laboratory at the Bogor Botanical Garden.

Herbs For Jamu
There are hundreds of herbs for jamu prescriptions, some are:
Rhizomes:
Bengle (Zingiber brevifolium)
Jahe Ginger (Zingiber officinale)
Kencur Aromatic Galangal (Kaempferia galanga)
Kunyit Turmeric (Curcuma domestica)
Lempuyang (Zingiber zerumbet or Zingiber aromaticum)
Lengkuas or Laos Greater Galangal (Alpinia galanga)
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza)
Leaves:
Brotowali or bratawali (Tinospora crispa or Tinospora tuberculata rumphii)
Sambang Darah (Excoecaria cochinchinensis or Excoecaria bicolor)
Secang (Caesalpinia sappan)
Seeds:
Adas (Foeniculum vulgare Mill)
Fruits:
Ceplukan Cutleaf groundcherry (Physalis angulata)
Jeruk Nipis Key lime (Citrus aurantifolia Swingle)
Nyamplung or kosambi (Calophyllum inophyllum)
Barks:
Kayu Manis Cinnamon (Cinnamomum burmannii)
Flowers:
Ilang-ilang Ylang ylang (Cananga odorata)
Melati Jasmine (Jasminum sambac)
Rumput Alang-alang (Gramineae)

Types of Jamu
Jamu Beras Kencur (kaempferia galangal rice or sand ginger rice) helps to reduce body ache
Jamu Cabe Puyang (chili and lempuyang rhizome) for elimination of stiffness or fever.
Jamu Gendong is usually sold by carrying a basket of bottled handmade jamus
Jamu Kudu Laos for lowering blood pressure, improving blood circulation, warming the body, increasing appetite.
Jamu Kunci Suruh for candidiasis, tighten the vagina, eliminates body odor, shrink the uterus and stomach, and is said to strengthen the teeth.
Jamu Kunir Asam (sour turmeric) for to cool the body (sakit panas) or facilitate menstruation
Jamu Pahitan for itching and diabetes, lack of appetite, eliminate body odor, lower cholesterol, abdominal bloating, acne, and dizziness.
Jamu Sinom like jamu kunir asam with the addition of young tamarind leaves
Jamu Uyup-uyup/Gepyokan for increasing breast milk production and to cool the body.